Sebetulnya bagaimana sih nasib dokter umum di Indonesia? Di mata masyarakat awam, sejak dulu sampai sekarang, selalu ada persepsi bahwa menjadi dokter itu enak karena akan mapan secara ekonomi. Mungkin itu yang berlaku jika sudah menjadiseorang dokter spesialis. Tapi apakah hal demikian juga berlaku bagi para dokter umum? Marilah kita lihat perjalanan seseorang untuk menjadi dokter umum. Ketika tamat SMU, untuk masuk fakultas kedokteran maka orangtua calon mahasiswa FK harus menyiapkan biaya mulai dari uang masuk yang besarnya puluhan juta hingga ratusan juta rupiah, kemudian uang semesteran dan lain-lain yang besarnya jutaan rupiah per semester. Belum lagi uang untuk membeli textbook yang umumnya impor ataupun terjemahan dengan harga yang dari puluhan ribu hingga jutaan (atlas anatomi Sobotta sekitar 1,2 - 1,4 juta/set) serta uang untuk membeli peralatan kedokteran yang standar (stetoskop, palu reflek). Lalu ketika menjalani kepaniteraan klinik/ masa co ass/ magang di RS pendidikan, maka masih dikenakan pula biaya untuk magang, seperti yang sempat dihebohkan adalah di Sulawesi Selatan karena diminta sebesar Rp. 60.000/minggu. Itu semua belum termasuk biaya hidup selama menempuh pendidikan yang lamanya sekitar 5-6 tahun. Bagi yang berasal dari keluarga kaya, mungkin tak terlalu jadi masalah, namun banyak juga lho dokter umum yang berasal dari keluarga menengah ke bawah yang hanya karena tekad kuat saja bisa mensiasati biaya pendidikannya yang mahal itu. |
Bila sudah tamat, maka bagi dokter umum yang freshgraduate masih belum bisa untuk praktek guna mencari nafkah. Mengapa? Sebab harus melalui Uji Kompetensi Dokter Indonesia (UKDI), sebagai syarat untuk mendapatkan Surat Tanda Registrasi (STR) yang dikeluarkan oleh Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) dengan masa berlaku 5 tahun. STR ini merupakan syarat mutlak untuk memperoleh ijin praktek. Sedangkan semua dokter umum yang lama, harus selalu memperbarui STR itu setiap 5 tahun yang bisa dilakukan dengan 2 cara, menempuh UKDI atau melalui pengumpulan Satuan Kredit Partisipasi (SKP) melalui berbagai kegiatan. Yang khusus untuk dokter umum adalah sebesar 250 poin dalam 5 tahun. Salah satu cara memperoleh kredit ini adalah dengan mengikuti berbagai kegiatan ilmiah seperti workshop, training, simposium dll yang biayanya mulai dari puluhan ribu hingga jutaan rupiah. Apalagi bagi para dokter umum yang bertugas di daerah sangat terpencil, maka mereka juga harus mengeluarkan biaya transportasi yang besarnya jutaan rupiah, sebab kegiatan tersebut umumnya hanya ada di Jawa. Sekedar ilustrasi, di tahun 2006, untuk perjalanan dari distrik Sawa Erma ke Agats (ibukota Asmat) , memakan biaya sekitar 1 - 2 juta sekali jalan, kemudian biaya penerbangan dari Agats ke Timika sekitar 600 ribu - 1 juta sekali jalan. Kemudian Penerbangan dari Timika - Jakarta minimal 2-3 juta sekali jalan. Jadi untuk sekali perjalanan P.P dari puskesmas ke Jakarta bisa menghabiskan sekitar 7,2 - 12 juta. Ini adalah harga tahun 2006 ketika saya kebetulan berada di sana. Entah kalau sekarang. Di lain pihak, dokter juga manusia, juga tak lepas dari tuntutan untuk menghidupi keluarganya, yang berarti meliputi uang untuk keperluan makan sehari-hari, uang susu dan popok si balita, uang sekolah anaknya yang lebih besar, ongkos ke tempat kerja, uang listrik, uang telepon, cicilan rumah dan sebagainya malah ada pula yang untuk membantu menutupi biaya hemodialisa orang tuanya maupun juga memenuhi tuntutan profesinya untuk terus meng”update” ilmu baik melalui buku maupun kegiatan yang telah saya sebutkan di atas yang tak sedikit memakan biaya. Selain itu, banyak yang tak tahu, mayoritas dokter yang bekerja di klinik maupun di rumah sakit, khususnya dokter yang non PNS, tak memperoleh perlindungan dan jaminan sosial maupun kesehatan dari tempatnya bekerja. Padahal seperti yang kita ketahui semua profesi tenaga kesehatan sangat rentan untuk tertular berbagai penyakit. Sedangkan dengan beban kerja yang sedemikian berat, wajarlah jika kondisi tubuh mudah menurun dan mudah sakit jika tak pintar menjaganya. Dengan segala pengeluaran itu mulai dari kuliah hingga meraih gelar dokter dan ketika telah menjalankan profesi dokter, lantas apakah penghasilan seorang dokter umum mencukupi? Berapa besar sih sebenarnya penghasilan seorang dokter umum? Memang rejeki setiap orang adalah berbeda-beda, tapi secara umum, rata-rata penghasilan dokter umum di Indonesia yang jaga di klinik/RS swasta adalah sekitar 150 - 300 ribu/hari. Kelihatannya besar namun kenyataannya adalah, penghasilan sebesar itu adalah hasil dari kerja nonstop selama 8-24 jam, dengan rata-rata 12 jam/hari. Tapi kenyataan yang ada juga tak selalu demikian. Ada adik kelas saya yang ketika tamat, bekerja di klinik di sebuah kota besar dengan jam kerja 3 x 24 jam/minggu, memperoleh penghasilan hanya 800 ribu/bulan. Sedangkan istri teman saya, yang juga seorang dokter umum, ketika bekerja di Semarang memperoleh penghasilan hanya sekitar 1,2juta/bulan. Padahal jam kerjanya adalah 12 jam /hari selama 5 hari/minggu. Berarti 240jam/bulan dan jelas itu sudah tak sesuai dengan aturan ketenagakerjaan yang berlaku. Dan bila dihitung berarti hanya memperoleh 5 ribu/jam atau seharga tarif parkir mobil di jakarta. Apakah cara memperlakukan profesi yang dituntut oleh semua pihak agar selalu menjunjung tinggi nilai kemanusiaan dan tak boleh melakukan kesalahan seperti itu manusiawi? Sedangkan bagi mereka yang menyandang sebagai pengabdi masyarakat karena dibayar oleh negara, maka untuk seorang dokter PNS yang baru, penghasilan yang diperoleh melalui gaji dan berbagai tunjangan adalah sekitar 3 juta/bulan. Kalah dari gaji seorang guru yang tak pernah dibangunkan di malam hari ketika pintunya digedor karena ada yang memerlukan pertolongan. Sedangkan dokter PTT (Pegawai Tidak Tetap) memperoleh penghasilan dari gaji berkisar antara 1 jutaan bagi yang bertugas di daerah kategori biasa dan terpencil hingga 6,355 juta /bulan bagi yang bertugas di daerah sangat terpencil dengan masa bakti antara 6 bulan - 2 tahun, tergantung kategori daerah yang dipilih dan lokasinya. Tapi yang PTT ini harus selalu gigit jari setiap mendengar pengumuman kenaikan gaji bagi para PNS dan TNI/POLRI, karena memang penghasilan mereka tak pernah naik-naik sejak 4-5 tahun silam dan juga tak ada uang pensiun lho. Apakah demikian cara memperlakukan profesi yang selalu dituntut agar mengabdi pada masyarakat dan agar selalu mau turun kedaerah pedalaman meninggalkan keluarganya serta terkadang mempertaruhkan nyawanya ketika bertugas di daerah pedalaman? Tapi bukankah ada uang komisi dari farmasi dan lab? Memang tak akan dipungkiri bahwa dokter umum (dan dokter spesialis juga) memperoleh komisi dari obat yang diresepkan, atau bila dokter tersebut melakukan praktek dispensing (memberikan obat secara langsung) maka dapat memperoleh keuntungan dari selisih harga obat yang dibeli dengan harga yang dikenakan untuk pasien. Hal ini cenderung akan mengarah pada pemberian obat dalam jumlah banyak dan tidak rasional guna memperoleh keuntungan tambahan. Dan ini umumnya di daerah perkotaan. Tapi harap diingat, tak semua dokter tergoda untuk melakukan hal itu. Namun umumnya dokter yang tak melakukan hal itu malah justru sering dicap bodoh oleh rekannya. Sedangkan para dokter yang bertugas di daerah sangat terpencil, malah cenderung tidak melakukan hal seperti itu, bahkan bila mau sekalipun juga hampir tak mungkin melakukannya. Karena perwakilan dari farmasi saja tidak ada yang datang ke wilayahnya karena sulitnya akses transportasi. Apalagi bila masyarakat yang dilayaninya adalah yang tergolong tak mampu dan terbiasa dengan pengobatan gratis di puskesmas, yang bila datang di luar jam kerja maka hanya mampu memberikan ucapan terima kasih yang tulus ataupun bila memaksakan untuk memberikan bayaran maka dokternya hanya mampu bilang seikhlasnya saja karena tau bagaimana sebetulnya kondisi ekonomi yang mau membayarnya. Dengan segala hal itu, makanya tak heran jika pernah ada yang bilang pada saya: “Adalah bodoh jika menjadi seorang dokter di jaman sekarang ini. Dan adalah lebih bodoh lagi jika hanya menjadi seorang dokter umum karena tidak akan pernah bisa kaya”. "Tapi biar bagaimanapun, masyarakat tampaknya tetap mebutuhkan orang bodoh macam ini. Apalagi yang berada di daerah terpencil dan sangat terpencil yang sudah jelas masih sangat membutuhkan orang bodoh yang disebut dokter umum" |